MEDANEKSPOS.COM, LUBUK PAKAM | Proses hukum kasus dugaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam menuai kritik tajam dari Ketua Umum Tim Kompas Nusantara (TKN), Adi Warman Lubis. Ia menyoroti tindakan Jaksa Hairita Desiana Harahap, S.H., yang dianggap terburu-buru membacakan tuntutan meskipun proses persidangan belum menyentuh pemeriksaan saksi kunci.

“Sidang baru dua kali, saksi belum dihadirkan, tapi tuntutan sudah dibacakan. Ini prosedur macam apa? Jangan-jangan keadilan cuma formalitas,” ungkap Adi Lubis usai menghadiri sidang kedua, Rabu (21/5/2025).

Menurutnya, perkara ini justru sarat kejanggalan. Sebagai pelapor, sekaligus pendamping korban, ia mengaku tidak pernah menerima surat panggilan resmi, baik dari kejaksaan maupun pengadilan. “Kami datang karena informasi dari penyidik, bukan karena dipanggil secara hukum. Bahkan lewat WhatsApp pun tidak ada pemberitahuan,” jelasnya.

Dalam sidang pertama, korban—yang merupakan istri terdakwa—secara emosional membeberkan riwayat panjang kekerasan, ketergantungan suami pada sabu-sabu, serta kecanduan judi online. Semua itu, kata Adi, telah diakui langsung oleh terdakwa di hadapan hakim dan diperintahkan untuk dicatat dalam berita acara.

“Namun alih-alih melanjutkan pemeriksaan saksi, sidang kedua justru berisi pembacaan tuntutan 1 tahun 6 bulan. Korban bahkan tak ditanya satu pun pertanyaan. Ini melecehkan hak hukum korban,” tegas Adi.

Ia juga menyoroti keanehan jadwal persidangan. “Sidang dijadwalkan pukul 10 pagi, tapi baru dimulai pukul 14.40. Ketika saya minta bicara ke majelis hakim, justru saya diarahkan ke jaksa. Bahkan saya diingatkan agar tidak ‘menekan jaksa’. Apakah meminta keadilan dianggap tekanan?” sindirnya tajam.

Setelah adu argumen dengan jaksa dan Kasi Pidum, Adi mengaku semakin kecewa. “Kami malah diberi alasan bahwa pelapor atau korban tidak wajib diundang dalam sidang tuntutan. Ini logika yang mencederai prinsip keterbukaan dan perlindungan terhadap korban,” katanya.

Atas dasar itu, ia meminta agar Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Mahkamah Agung, hingga Presiden RI Prabowo Subianto melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses hukum kasus ini.

“Jika hukum hanya menjadi alat formalitas, maka korban takkan pernah mendapat keadilan. Ini bukan perkara ringan. Ini soal martabat korban dan integritas penegakan hukum di negeri ini,” pungkas Adi Lubis.

(Rl/Red/Tim)